KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT
TALUAK DAN MASYARAKAT ACEH DI
TAPAKTUAN ACEH SELATAN
Ita Fadhliah
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui komunikasi antarbudaya dan kompetensi komunikasi
antarbudaya masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh di Tapaktuan Aceh Selatan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan
paradigma konstruktivis. Data yang diperoleh dengan melakukan wawancara,
observasi dan dokumentasi. Subjek penelitian sebanyak tujuh orang yang terdiri
dari tokoh masyarakat Taluak dan
masyarakat Aceh di Tapaktuan Aceh Selatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat
Taluak merupakan masyarakat yang
sudah ditetapkan sebagai suku di Provinsi Aceh. Pada umumnya, tersebar di
bagian pantai Barat-Selatan Aceh salah satunya di Kabupaten Aceh Selatan
tepatnya di Tapaktuan. Mereka menetap dan berbaur dengan masyarakat Aceh dengan
membawa identitas diri mereka baik dari bahasa, makanan dan adat istiadat. Dari
segi adat istiadat masyarakat Taluak
dan masyarakat Aceh masih mempertahankan adat istiadat mereka, faktor adat
istiadat memegang peranan penting di dalam segala pola kehidupan karena itu
merupakan ciri khas daerah masing-masing. Proses komunikasi antarbudaya
terlihat adanya pergeseran bahasa pada masyarakat Aceh ditandai dengan semakin
sedikitnya jumlah masyarakat yang memakai bahasa Aceh dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, bahasa Aceh yang digunakan sudah bercampur dengan
dialek bahasa Jamee.
KOMPETENSIKOMUNIKASI ANTARBUDAYAMASYARAKATTALUAK DAN MASYARAKAT ACEH DITAPAKTUAN ACEH SELATAN
Kata Kunci: Kompetensi Komunikasi Antarbudaya,
Masyarakat Taluak, Masyarakat Aceh.
Abstract:
The purpose of this research is to determine the intercultural communication
and Intercultural Communication Competence among Taluak’s Society and Acehnese
at Tapaktuan, South Aceh. Qualitative descriptive used in research method with the constructivist paradigm.
Data
obtained by interview, observation and documentation. The
subjects research consist of seven people Taluak’s public and Acehnese in Tapaktuan South Aceh. The results showed
that the Taluak’s society is a society
that were established as a tribe in the Aceh’s province. In general, the spread
on the South-West coast of Aceh one of them in South Aceh’s regency precisely
at Tapaktuan. They settled
down and mingle with the Acehnese to carry their identity either of the language, food and
customs. In terms of social customs of Taluak’s society and Acehnese still retain their customs, more factors
play an important role in all patterns of life because it is typical of their
respective areas. The intercultural
communication visible shift in the language of the Acehnese are marked with a
small number of people who use the Aceh’s language in everyday life. In addition, the Aceh’s language used in mixed with the dialect Jamee. The
intercultural communication competence Taluak’s and Acehnese society looks
through motivation, knowledge and their skills in communicating. In addition,
identity also affected communication skills in intercultural interaction.
Keywords: Intercultural Communication Competence, Taluak’s
Society, Acehnese.
PENDAHULUAN
Indonesia
dikenal dengan kemajemukan masyarakatnya yang terdiri dari berbagai macam
suku-bangsa, ras dan agama. Keanekaragaman tersebut dapat kita lihat
berimplikasi pada perbedaan budaya, bahasa, sikap dan perilaku; misalnya komunikasi antara orang Betawi
dengan Madura. Mereka sama-sama warga yang tinggal di Provinsi Jawa Timur, sama
rasnya tetapi mempunyai latar belakang budaya, pandangan hidup dan bahasa yang
berbeda. Hal ini juga terdapat pada masyarakat yang ada di provinsi Aceh. Ada
banyak suku-bangsa (kelompok etnik) tinggal di wilayah administrasi Provinsi
Aceh: ras sama, agama sama, tetapi budaya dan bahasa berbeda satu sama lain.
“Aceh”
adalah nama salah satu Provinsi, bagian dari
Indonesia, yang terletak di ujung pulau Sumatera dan memiliki berbagai macam
suku-bangsa (kelompok etnik). Suku-suku bangsa yang mendiami Provinsi ini
adalah: Aceh, Alas, Gayo, Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee dan Simeulu terdiri dari
Sigulai, Devayan dan Lekon. (Arifni Netriroza dalam Jurnal Etnomusikologi, No.
6, Tahun 3, September 2007). “Aneuk Jamee” sendiri merupakan nama yang
diberikan oleh Orang Aceh untuk kelompok etnik yang berdiam di sekitar Tapak
Tuan (ibukota Kabupaten Aceh Selatan) di pantai barat Sumatera, yang artinya
adalah ‘tamu’; karena dalam pandangan Orang Aceh, “Aneuk Jamee” berasal dari
wilayah Minangkabau. Sementara menurut mereka sendiri, nama yang digunakan
adalah Urang Taluak (Orang Teluk).
Selain itu, terdapat pula beberapa suku-bangsa lainnya yang berdomisili
dan tersebar di beberapa wilayah di Provinsi Aceh. Suku-suku bangsa tersebut
antara lain suku-bangsa Jawa, Pakpak, Batak Toba dan Karo.
Kabupaten
Aceh Selatan, tempat kedua suku-bangsa yang akan dikaji kompetensi
komunikasinya dalam berkomunikasi secara antarbudaya, ini dikenal sebagai
Kabupaten penghasil pala terbesar di Provinsi Aceh. Ibukotanya adalah Tapak
Tuan. Kota yang dijuluki juga sebagai Kota Naga ini memiliki jumlah etnik Aneuk
Jamee 30 % dari populasi penduduk 220.971 jiwa, yang terdiri dari 108.580 jiwa
penduduk laki-laki, 112.451 jiwa penduduk perempuan dan jumlah kepadatan
penduduk mencapai 55,17 jiwa per kilometer (Aceh Selatan Dalam Angka 2015).
Masyarakatnya terdiri dari masyarakat Urang
Taluak dan masyarakat Aceh. Kedua suku ini memiliki tradisi dan adat
istiadat berbeda, secara khusus telah dikembangkan dan diwariskan oleh nenek
moyang mereka masing-masing.
Masyarakat
Taluak dan masyarakat Aceh dalam kesehariaannya hidup berdampingan. Mereka
sama-sama berdagang, sama-sama melaut tetapi bekerja dengan cara
sendiri-sendiri. Semua aktivitas sosial di masyarakat mereka jalani bersama.
Tapi, bagaimanapun misskomunikasi yang disebabkan oleh perbedaan budaya di
antara keduanya tidak dapat terhindarkan. Alasannya seperti dikatakan oleh Mulyana
(2005: vii) bahwa perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan
komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul
kesalahpahaman. Hingga saat ini kesalahan-kesalahan untuk memahami makna masih
sering terjadi ketika indikator kedua kelompok yang berbeda budaya itu
berkomunikasi satu sama lain. dengan seseorang ataupun kelompok yang memiliki
budaya yang berbeda. Masalahnya setiap individu memiliki kecenderungan dan
menganggap bahwa budayanya sebagai standar, dan dengan budayanya itu pula ia
mengukur budaya-budaya lain.
Untuk
menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam komunikasi antarbudaya,
khususnya antara masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh, kedua belah pihak
dituntut untuk saling memahami dan mengerti budaya orang lain agar komunikasi
antarbudaya dapat berlangsung harmonis (Mulyana & Rakhmat, 2003: 20).
Setiap individu yang berinteraksi dengan orang yang berada di luar budayanya
dituntut untuk mempunyai kompetensi komunikasi.
Kompetensi
komunikasi antarbudaya merupakan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
Kompetensi ini mencakup hal-hal seperti pengetahuan tentang peran lingkungan
(konteks) dalam mempengaruhi kandungan (content)
dan bentuk pesan komunikasi (misalnya, pengetahuan bahwa suatu topik mungkin
layak bagi pendengar tertentu di lingkungan tertentu, tetapi mungkin tidak
layak bagi pendengar dan lingkungan yang lain). Pengetahuan tentang tata cara
perilaku nonverbal (misalnya kepatutan sentuhan, suara yang keras, serta
kedekatan fisik) juga merupakan bagian dari kompetensi komunikasi (Devito,
1997: 20).
Pada dasarnya
kebudayaan yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat itu sangatlah unik.
Bahasa, cara makan, cara berpakaian, cara bersopan santun, standar moral dari
suatu komunitas berbeda dengan komunitas yang lain. Perbedaan tersebut memang
sering tampak kontradiksi. Namun kenyataan sejarah menunjukkan adanya sharing of culture yang dapat saling
menerima dan saling mengerti perbedaan itu (Purwasito, 2003: 224). Hal yang
sama bisa juga terjadi di antara Orang Aceh dengan Urang Taluak di kota naga
Tapak Tuan. Tinggal bersama dalam waktu yang sangat lama, lalu membentuk
masyarakat Kota Tapak Tuan dan sekitarnya, itu merupakan petunjuk bahwa sharing of culture di antara mereka
sangat mungkin terjadi.
Menurut para ahli,
bahasa merupakan sarana utama terjadinya komunikasi. Bahasa Jamee (Taluak) dan
bahasa Aceh Pantai Barat adalah dua bahasa yang digunakan oleh masyarakat Taluak (orang Taluak) dan masyarakat
Aceh dalam kehidupan sehari-hari di Kota Tapak Tuan. Namun penulis menemukan
ada tempat-tempat tertentu di mana
masyarakat Taluak (orang taluak) yang tinggal bercampur dengan masyarakat
suku-bangsa Aceh bisa berbicara dalam dua bahasa, seperti di daerah Sawang, bahkan
ada yang menguasai tiga bahasa seperti di daerah Kluet Utara dan Kluet Selatan,
yaitu menguasai bahasa Aceh, Jamee, dan Bahasa Kluet.
Ketertarikan
untuk meneliti kompetensi komunikasi antarbudaya Masyarakat Taluak dan
Masyarakat Aceh di Tapaktuan Aceh Selatan, karena adanya sikap mempertahankan
identitas kesukuan mereka. Selain itu, budaya Urang Taluak menjadi budaya Aceh itu sendiri, misalnya masyarakat Aceh di Tapaktuan lebih sering
menggunakan panggilan-panggilan khas minang kepada yang tua atau muda dengan
sebutan etek, uni, uda, mak tangah, pak ketek dan lain-lain.
Dari permasalahan di
atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Taluak dan Masyarakat Aceh
di Tapaktuan Aceh Selatan”.
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang hendak diteliti dalam
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
proses komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh di Tapaktuan Aceh Selatan?
2.
Bagaimana
kompetensi komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh di
Tapaktuan Aceh Selatan?
Adapun tujuan penelitian yang
ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui
proses komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh di
Tapaktuan Aceh Selatan.
2.
Mengetahui
kompetensi komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak dan Masyarakat Aceh di
Tapaktuan Aceh Selatan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang cenderung mengarahkan
kajiannya pada perilaku manusia sehari-hari dalam keadaannya yang rutin secara
apa adanya (Sutopo, 2002:34). Kualitas suatu penelitian ditentukan oleh
ketetapan dalam pemilihan metode penelitian, di mana metode penelitian tersebut
dapat dipergunakan untuk menangkap dan menjelaskan realitas sosial secara jelas
sesuai dengan karakter objek studi yang diteliti. Adapun jenis-jenis penelitian
kualitatif, diantaranya, yaitu etnografi, pendekatan fenomenologi, riwayat
hidup (life histories), dan analisis
percakapan. Jenis-jenis ini bisa dimanfaatkan oleh para peneliti di berbagai
bidang. Misalnya, penelitian etnografi ataupun riwayat hidup dapat digunakan
dalam bidang antopologi dan sosiologi (Strauss & Corbin, 2003: 8).
Penelitian deskriptif kualitatif
bertujuan menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau
realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan
berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,
model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi tertentu. Metode deskriptif
kualitatif memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai fenomena
dimana kedalaman data menjadi pertimbangan dalam penelitian ini (Bungin,
2007:68).
Metode ini menitikberatkan pada
observasi dan suasana alamiah. Peneliti bertindak sebagai pengamat. Ia hanya
membuat kategori pelaku, mengamati gejala dan mencatatnya dalam buku observasi.
Dengan suasana alamiah berarti peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha
memanipulasi objek karena kehadirannya mungkin mempengaruhi gejala, peneliti harus
berusaha memperkecil pengaruh tersebut.
Bogdan dan Biklen (2003)
memaparkan ciri-ciri penelitian kualitatif yaitu: (1) sumber data dalam
penelitian kualitatif ialah situasi yang wajar atau “natural setting” dan peneliti merupakan instrumen kunci; (2) riset
kualitatif bersifat deskriptif; (3) riset kualitatif lebih memperhatikan proses
daripada hasil atau produk semata; (4) periset kualitatif cenderung menganalisa
data secara induktif; (5) makna merupakan soal esensial bagi pendekatan
kualitatif.
Berdasarkan ciri-ciri di atas,
peneliti dapat berkomunikasi secara
langsung dengan subjek yang diteliti serta dapat mengamati mereka sejak awal
sampai akhir proses penelitian. Fakta atau data yang ditemukan itulah yang
nantinya akan dianalisis. Seperti yang dipaparkan oleh Bogdan dan Biklen (2003)
bahwa pendekatan kualitatif berusaha untuk memahami dan menafsirkan makna
tentang suatu peristiwa dan interaksi manusia dalam situasi tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keanekaragaman
Budaya Masyarakat Taluak dan Masyarakat Aceh
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari
banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Tidak semua anggota budaya
memiliki semua unsur budaya secara bersama. Selain itu, sebuah budaya akan
berubah dan berevolusi dari waktu ke waktu. Namun seperangkat karakteristik
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secara keseluruhan dapat dilacak,
meskipun telah berubah banyak, dari generasi ke generasi (Tubbs dan Moss: 2005:
237).
Temuan
penelitian mendukung teori di atas yang menyebutkan bahwa keanekaragaman budaya
di Tapaktuan dapat dilihat melalui bahasa yang memiliki dialek mirip bahasa
Minang Sumatera Barat. Selain itu, cita rasa makanan juga lebih suka memakai
kelapa misalnya rendang padang dan gulai-gulain basantan lainnya. Sedangkan dalam hal tata cara adat istiadat
perkawinan memiliki tata cara yang menyerupai adat istiadat dari Minangkabau
yaitu seni tari seperti silat gelombang, Bakaba dan Randai.
2. Proses
Komunikasi Antarbudaya
Proses
komunikasi antarbudaya yang peneliti jumpai bahwa masyarakat Taluak dan
masyarakat Aceh mengalami masalah bahasa. Bahasa dalam komunikasi antarbudaya
merupakan proses interaksi antara suatu kelompok budaya dengan kelompok yang
lain baik antar ras atau etnik. Proses komunikasi tersebut terjadi karena
adanya perpindahan individu ataupun kelompok sosial ke wilayah budaya kelompok
lain karena faktor lapangan kerja, pendidikan, konflik dan lain sebagainya.
Bahasa adalah representasi budaya,
atau suatu “peta kasar” yang menggambarkan budaya, termasuk pandangan dunia,
kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan pengalaman yang dianut komunitas
bersangkutan. Sebagai peta budaya, bahasa membedakan suatu budaya dengan budaya
yang lainnya atau suatu subkultur dengan subkultur lainnya. Kelompok suku,
entitas politik, atau kelas sosial yang berbeda pula. Kemiripan suatu bahasa
dengan bahasa lain mencerminkan kemiripan kedua budaya tersebut. Dengan asumsi
bahwa bahwa merepresentasikan budaya, maka ciri budaya suatu komunitas,
misalnya kecanggihannya, juga akan terlihat kecanggihan bahasanya. Pendek kata,
bahasa adalah instrumen manusia dalam mengembangkan budaya. Tanpa bahasa,
manusia takkan mungkin berbudaya (Mulyana, 2004: 73-74).
Temuan penelitian
menghasilkan data bahwa para informan masyarakat Aceh lebih sering menggunakan
bahasa Jamee dan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, tapi mereka
menggunakan bahasa Aceh sekali-sekali saja dan bahasa Aceh mereka sudah
bercampur dengan dialek bahasa Jamee. Sedangkan masyarakat Taluak mengalami
kendala berbahasa ketika berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Karena pada
umumnya, masyarakat Taluak tidak mengerti bahasa Aceh. Maka, harusnya
menggunakan bahasa yang dimengerti semua orang, misalnya bahasa Indonesia.
Data ini juga
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Khairun Nisa (2012) yang berjudul
Wujud Akulturasi Budaya Arab-Sunda pada Masyarakat Pasar Rebo, Kelurahan Nagri
Kidul Purwokerto. Hasil penelitian terhadap
masyarakat Pasar Rebo menunjukkan bahwa bahasa Arab yang digunakan oleh
masyarakat Pasar Rebo, sudah tidak murni sepenuhnya bahasa Arab melainkan
percampuran antara bahasa Arab-Indonesia-Sunda yang disebut dengan campur kode.
Hal ini disebabkan karena semakin sedikitnya jumlah masyarakat keturunan Arab
yang memakai bahasa Arab itu sendiri.
3. Kompetensi
Komunikasi Antarbudaya
Menurut
Spitzberg dalam Samovar (2010: 460) bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya
adalah perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Selain
itu, Young Yun Kim (2003) mengajukan sebuah definisi kompetensi komunikasi
antarbudaya sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk mengelola seluruh
aspek-aspek komunikasi antarbudaya yang meliputi perbedaan budaya, sikap in-group
dan tekanan-tekanan. Dari definisi yang diajukan Kim, diperoleh pengertian
bahwa peserta komunikasi antarbudaya disebut kompeten apabila mereka mampu
mengelola segala faktor penghambat komunikasi antarbudaya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, kecakapan dalam melakukan komunikasi menjadi unsur yang sangat
penting.
Spitzberg dan Cupach berpendapat kompetensi komunikasi
perlu memiliki 2 kriteria:
ketepatan dan
efektivitas. Untuk bertindak secara
tepat dan efektif
kita harus memiliki tiga komponen kompetensi komunikasi yaitu motivasi, pengetahuan
dan keterampilan. Motivasi terkait
dengan keinginan kita untuk mempelajari cara berinteraksi dengan orang yang
berbeda budaya. Pengetahuan mengenai pemahaman tentang kesiapan kita untuk
berkomunikasi secara tepat dan efektif. Keterampilan berkaitan dengan kemampuan perilaku yang tepat
dan efektif
dalam konteks komunikasi.
a.
Motivasi
Komunikasi
dapat terjalin karena adanya motivasi masing-masing peserta komunikasi untuk
melakukannya. Demikian pula halnya dengan komunikasi antarbudaya yang dapat
terjalin karena motivasi masing-masing anggota kelompok budaya untuk
berkomunikasi dengan anggota kelompok budaya lainnya.
Motivasi
seringkali terkait dengan kesediaan seseorang untuk mendekati atau menghindari
interaksi dengan yang lain. Kebanyakan penelitian motivasi komunikasi masuk
dalam kerangka karakteristik, seperti rasa takut atau rasa malu. Jadi, sebagai
komunikator yang penuh motivasi, adanya sikap ketertarikan, berusaha untuk
berbicara serta mengerti, dan menawarkan bantuan. Selanjutnya, menunjukkan
keinginan berhubungan dengan orang lain dalam tingkat personal ketika
berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda budaya.
Aspek-aspek
motivasi yang dikemukakan oleh Jonathan H. Turner dalam Gudykunst (2003: 276)
dapat dirinci menjadi beberapa kebutuhan dasar manusia untuk berkomunikasi
dengan anggota budaya yang lain, diantaranya kebutuhan rasa aman, kebutuhan
berbagi pengalaman, kebutuhan untuk menjauhi kecemasan dan kebutuhan
mempertahankan konsep diri. Yang tampak dalam diri informan adalah kebutuhan
untuk menjauhi kecemasan. Para informan menyampaikan mengenai tidak merasa
cemas dengan nilai-nilai budaya mereka ketika berada di lingkungan orang-orang
yang berbeda budaya dan dapat diketahui bahwa masyarakat Aceh mampu mengelola
kecemasan dengan baik ketika berinteraksi dengan masyarakat Taluak.
b.
Pengetahuan
Pengetahuan yang cukup
tentang budaya menjadi penting karena dengan mempunyai komponen ini dengan sendirinya
seseorang menyadari dan memahami peraturan, norma dan harapan yang dapat
dikelompokkan dengan budaya orang-orang yang berinteraksi dengannya. Adapun komponen pengetahuan ini
terdiri dari pengetahuan bagaimana kita
dapat mengumpulkan informasi tentang orang asing, pengetahuan
perbedaan kelompok, pengetahuan tentang pribadi yang sama dan pengetahuan menafsirkan pesan mereka secara akurat. Dari beberapa komponen kompetensi ditinjau dari
pengetahuan, ada dua komponen yang tampak yaitu:
(1)
Pengetahuan tentang perbedaan
kelompok
Tercapainya
komunikasi yang efektif dengan anggota kelompok lain, kita harus memiliki
kesamaan dengan anggota kelompok tersebut. Hal ini tidak mungkin terjadi karena
setiap anggota kelompok berasal dari budaya, etnis, kelompok usia atau kelas
sosial yang berbeda. Akan tetapi, kita harus memahami perbedaan yang ada di
kelompok kita sendiri dan kelompok orang lain sehingga terciptanya komunikasi
yang efektif.
Temuan
penelitian perbedaan masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh tidak terlalu
terlihat perbedaannya kurang lebih sama. Namun kita dapat membedakan melalui
bahasa dan dialeknya, adat istiadat dalam perkawinan masyarakat Taluak ada
tarian silat gelombang ketika nikah bahanta-hanta
dan berbalas pantun waktu menandai (bertunangan).
Akan tetapi, masyarakat Aceh di Tapaktuan tidak ada melaksanakan proses adat
istiadat tersebut. Proses adat istiadat ini dilaksanakan ketika salah satu dari masyarakat Aceh kawin
dengan masyarakat Taluak tergantung
kesepakatan pada kedua belah pihak.
Selain
itu, masyarakat Aceh tetap menggunakan pelaminan masyarakat Taluak dimana
pelaminan tersebut harus diletakkan di ruang tamu. Apabila memakai pelaminan
daerah lain diletakkan di ruangan lain.
(2) Pengetahuan tentang
kesamaan personal
Selain
memahami perbedaan, kita juga harus memahami kesamaan ketika kita berkomunikasi
secara efektif dengan orang berbeda budaya. Memahami kesamaan di dalam kelompok
dapat ditemukan apabila individu ingin membangun hubungan yang baik dengan
orang berbeda budaya.
Para
informan lebih banyak mengemukakan kesamaan-kesamaan yang dimiliki masyarakat
Taluak dan masyarakat Aceh. Informan mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda.
Mereka mengungkapkan pandangan-pandangan positif. Namun, kesemuanya memperoleh
pengetahuan yang cukup bagi mereka untuk melakukan komunikasi satu sama
lain.
c.
Kecakapan
Komunikasi
dapat dikatakan kompeten apabila masing-masing peserta komunikasi terampil
mengelola motivasi dan pengetahuan mereka untuk berkomunikasi dengan orang yang
berbeda budaya. Keterampilan ini menetukan efektif atau tidaknya suatu proses
komunikasi. Menurut Spitzberg, semakin meningkat ketrampilan komunikasi maka
kompetensi komunikasi pun meningkat.
Keterampilan
merujuk pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan tepat
dalam konteks komunikasi. Menurut Gudykunst (2003) komponen keterampilan ini
diantaranya adalah kemampuan untuk memahami kerancuan, kemampuan berempati dan
kemampuan untuk menyesuaikan perilaku.
Hal
pertama yang diungkapkan Gudykunst (2003) dapat ditemui pada situasi dimana ada
orang-orang yang berbicara dengan bahasa yang tidak mengerti, misalnya
sekelompok masyarakat Aceh berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Wujud
kemampuan keterampilan ini mengarah pada kemampuan masing-masing informan untuk
menyikapi pada masing-masing etnis secara lebih arif. Informan yang lain pun
menekankan pentingnya saling memahami dengan situasi sekelompok orang-orang
yang berbeda budaya.
Bentuk
keterampilan kedua yang dikemukakan Gudykunst adalah kemampuan untuk berempati
dengan masyarakat yang lain. Hal ini dapat ditemukan dalam wujud saling
memiliki rasa sosial sesama masyarakat, contohnya ikut serta dalam membantu
acara pesta, menjenguk orang sakit atau meninggal dan ikut tradisi mengantarkan
nasi musibah ke rumah duka.
Hal
lain yang diungkapkan Gudykunst yang ditemui dari hasil wawancara dengan
informan mengarah pada kemampuan untuk menyesuaikan perilaku. Para informan
menyampaikan hal yang sama mengenai tidak terlalu sulit beradaptasi dengan
orang-orang yang berbeda budaya. Namun, walau bagaimanapun kita tetap
berhati-hati karena tidak tahu apa yang bisa menyinggung mereka.
Komunikasi
antarbudaya didahului oleh hubungan antarbudaya. Hubungan antarbudaya bukan
terjadi sekilas tetapi terus menerus sehingga kualitasnya berubah menjadi
hubungan yang semakin baik. Hubungan yang terjadi antara masyarakat Taluak dan
masyarakat Aceh terus berlangsung secara terus menerus dan menuju ke arah yang
lebih baik dengan adanya motivasi ingin diterima di lingkungan baru serta
kemampuan adaptasi dalam komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak dan
masyarakat Aceh.
4. Identitas
Masyarakat Taluak dan Masyarakat Aceh
Untuk mengenal sebuah kelompok dapat
dilihat dari identitas yang digunakan, tanpa adanya identitas suatu kelompok
akan sulit diketahui keberadaannya. Demikian simbol-simbol yang dimiliki oleh
setiap kelompok etnis, yang berfungsi untuk mengenal kelompok tersebut dengan
identitas. Dengan sebuah identitas posisi seseorang akan jelas pada kelompoknya
dimana persoalan identitas bukanlah masalah budaya semata tetapi dapat berarti
lebih luas. Meskipun kondisi masyarakat beragam, tetapi ada beberapa sifat
budaya yang mirip sehingga selalu dapat dicarikan titik temu bagi perbedaan
budaya antar kelompok. Hal ini dapat dilihat sebagai penggambaran perilaku
manusia, sehingga kelompok-kelompok manusia yang mempunyai perilaku tertentu
akan digolongkan dalam suatu unit yang mempunyai perilaku tertentu akan
digolongkan dalam suatu unit kelompok etnik yang mempunyai sifat budaya
tertentu.
Identitas etnis merupakan kajian
komunikasi antarbudaya karena faktor yang mendorong terbentuknya identitas
etnis adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnis yang terbentuk melalui
kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman dan kesamaan latar belakang,
sehingga akan tercipta kesamaan adat dan perilaku. Freedman, Peplau dan Sears
(Lubis: 2014) mengatakan bahwa kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan
seidentitas, baik dalam hal bahasa, kebiasaan, adat istiadat dan sebagainya.
Gambaran
tersebut juga terlihat pada masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh di Tapaktuan.
Informan penelitian menyebutkan bahwa identitas sangat penting ditampilkan yang
berfungsi sebagai pemersatu satu sama lain, mengetahui asal usul dan menjadi
berbeda dengan orang lain. Namun karena penguasaan bahasa Aceh yang masih minim
pada masyarakat Taluak membuat tidak cukup luwes dalam berkomunikasi dengan
orang Aceh disekitarnya.
Penelitian
yang terkait dengan hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rifal Aswar
Tanjung (2011) yang berjudul Komunikasi Antarbudaya
di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam
Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas
Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa identitas etnis dapat berperan sebagai pendorong dalam
melakukan kompetensi komunikasi antara mahasiswa etnis Tionghoa dengan
mahasiswa pribumi. Identitas etnis yang berbeda, tidak menjadikan penghambat
dalam kompetensi komunikasi yang mereka lakukan. Jenis kelamin, agama, asal
daerah, dan pekerjaan orang tua mampu membentuk identitas etnis pada mahasiswa
etnis Tionghoa, sedangkan usia beserta departemen, stambuk, dan tingkatan
semester bukanlah karakteristik yang dapat membentuk identitas etnis pada mereka.
Kompetensi komunikasi mahasiswa Tionghoa berada pada tataran yang cukup
efektif. Meskipun identitas etnis yang berbeda dengan mahasiswa pribumi, lantas
tidak membuat mereka enggan untuk melakukan kompetensi komunikasi dengan
mahasiswa pribumi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada tidak
membuat mahasiswa etnis Tionghoa menutup diri.
KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT TALUAK DAN MASYARAKAT ACEH DI TAPAKTUAN ACEH SELATAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain:
1.
Proses
komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak
dan masyarakat Aceh, sejauh ini telah berjalan baik, mereka saling menghormati
dan memahami walaupun berbeda etnis. Tidak pernah terjadi konflik serius
diantara mereka, walaupun ada hambatan ketika berlangsungnya komunikasi seperti
bahasa, masyarakat Taluak umumnya
tidak bisa berbahasa Aceh.
2.
Terjadinya
pergeseran bahasa pada masyarakat Aceh ditandai dengan semakin sedikitnya
jumlah masyarakat yang menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari,
bahkan bahasa Aceh yang digunakan sudah bercampur dengan dialek bahasa Jamee.
3.
Adat
istiadat masih memegang peranan penting di dalam segala pola kehidupan pada
masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh.
4.
Kompetensi
komunikasi antarbudaya masyarakat Taluak dan masyarakat Aceh terlihat dari
motivasi, pengetahuan dan kecakapan mereka dalam berkomunikasi.
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan, maka dapat dikemukakan beberapa saran, antara
lain:
1.
Bagi
Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Aceh Selatan diharapkan
untuk melestarikan bahasa daerah, mempelajari bahasa asing dan menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sesama etnik.
2.
Diharapkan
dapat menginspirasi peneliti selanjutnya dan menjadi bahan rujukan dalam
melihat kompetensi komunikasi dengan masyarakat yang berbeda budaya, khususnya
dalam adat istiadat suku bangsa Indonesia.
3.
Bagi
peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini bisa mengkaji dengan menggunakan
pendekatan campuran (mixed method)
untuk mengukur kompetensi komunikasi antarbudaya masyarakat yang berbeda etnik
dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A.C.
(2002). Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar
Merancang dan Melakukan Penelitian. Bandung: Pustaka Jaya bekerjasama
dengan Pusat Studi Sunda.
Bungin, Burhan.
(2007). Metodologi Penelitian Kualitatif
Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
_____________.
(2011). Penelitian Kualitatif edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
_____________.
(2012). Penelitian Kualitatif:
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta:
Prenada Media Group.
_____________.
(2013). Sosiologi Komunikasi: Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat Edisi Pertama. Jakarta:
Prenada Media Group.
Creswell, J.W.
(2010). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K
& Lincoln, Yuonna S. (2009). Handbook
of Qualitative Research, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
DeVito, Joseph
A. (1997). Human Communication. (terj)
Komunikasi Antarmanusia. (Ed.5). Jakarta: Profesional Books.
Ermita Aksan,
Eka. (2009). Komunikasi Antarbudaya Suku Jawa dan Keturunan Cina. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 7, No. 1,
Januari-April 2009.
Griffin, E.M. (2003). A First Look u Communication Theory. Mc
Grraw-Hill Companies.
Gundykunst, William
& Young Yun Kim. 2003. Communicating with Strangers. New York : Mc.
Graw Hill International.
Hidayat, Dedy N. (1999).
Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jurnal ISKI, Vol. 3/April 1999. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Iskandar. 2009. Metodologi penelitian kualitatif: Aplikasi
untuk Penelitian Pendidikan Hukum, Ekonomi & Manajemen, Sosial, Humaniora,
Politik, Agama dan Filsafat. Jakarta: GP Press.
Josephine,
Maria Elizabeth.
(2012).
Analisa Kompetensi
Komunikasi Lintas Budaya Dalam Menyelesaikan Konflik Lintas Budaya
(Studi Kasus Sekretariat Asean Jakarta). Tesis dipublikasikan. Universitas Indonesia.
Kriyantono,
Rachmat. (2014). Teknis Praktis Riset
Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.
Kurniawan,
Freddy. (2011). Kompetensi Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif tentang
Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Anggota Perkumpulan Masyarakat Surakarta
(PMS) Etnis Tionghoa dan Jawa). Skripsi dipublikasikan. Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Lee
Brown, Clara. (2009). Heritage Language
and Ethnic Identity (A Case Study of Korean-American Collage Students.
International Journal of Multicultural Education Vol. 11, No.1. U.S.A: The
Univertsity of Tennessee, Knoxville.
Lestari, Puji.
(2007). Stereotip dan Kompetensi Komunikasi Bisnis Antarbudaya Bali dan Cina
(Studi di Kalangan Pengusaha Perak Bali dan Cina). Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 4 No. 1, Juni 2007.
Liliweri, Alo.
(2003). Makna Budaya dalam Komunikasi
Antarbudaya, Yogyakarta: LkiS.
_____________.
(2001). Gatra-Gatra Komunikasi
Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Littlejohn,
Stephen W. (2001). Theories of Human
Communication Fifth Edition. New York: Wadsworth Publishing Company.
Littlejohn,
Stephen.W & Foss, K.A. (2011). Teori
Komunikasi-Theories of Human Communication, Edisi Sembilan. Jakarta:
Salemba Humanika.
Lubis, Lusiana,
A. (2012). Pemahaman Praktis Komunikasi
Antarbudaya. Medan: USU Press.
_____________.
(2014). Peran identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa
Pendatang di Universitas Sumatera Utara.
_____________.
(2012). Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi di Kota Medan. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 10 No. 1,
Januari-April 2012, ISSN 1693-3029.
Lubis, Suwardi.
(1999) Komunikasi Antarbudaya: Kajian
Kasus Suku Batak Toba dan Suku Tionghoa di Sumatera Utara, Medan: USU
Press.
Lustig, Myron W
& Koester, Jolone. (2010). Intercultural
Competence (Interpersonal Communication Across Cultures). Sixth Edition.
America: Pearson International Edition.
Martin, Judith
dan Thomas K. Nakayama. (2007). Intercultural Communication in Contexts.
New York: Mc Graw Hill International.
Masril,
Munzaimah. (2011). Kompetensi Komunikasi
Antarbudaya (Analisis Hubungan Kecemasan dan Ketidakpastian terhadap Kompetensi
Komunikasi Antarbudaya Warga Negara Jepang di Indonesia), Tesis
dipublikasikan. Universitas Sumatera Utara.
Moleong, Lexy J.
(2011). Metodologi Penelitian Kualitatif
Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Morissan.
(2014). Teori Komunikasi: Individu hingga
Massa. Jakarta: Kencana.
Mulyana, Deddy.
(2002). Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial lainnya, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
_____________.
(2004). Komunikasi Efektif: Suatu
Pendekatan Lintasbudaya, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy
& Rakhmat, Jalaluddin. (2003).
Komunikasi Antarbudaya, Bandung: Remaja Rosdakarya.
_____________.
(2004). Metode penelitian Kualitatif. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
_____________.
(2005). Komunikasi Antarbudaya: Panduan
berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Netriroza,
Arifni. (2007). Masyarakat dan Kesenian Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Etnomusikologi, No. 6, Tahun 3,
September 2007, Universitas Sumatera Utara.
Neuman, W.
Lawrence. (2013). Metodologi Penelitian
Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: PT Indeks.
Nisa, Khairun. (2012). Wujud Akulturasi Budaya Arab-Sunda pada
Masyarakat Pasar Rebo, Kelurahan Nagri Kidul Purwokerto.
Noro
Iswari, Andriana. (2012). Komunikasi
Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Studi
tentang Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa Etnis Batak dengan
Mahasiswa Etnis Jawa Universitas Sebelas Maret Surakarta), Skripsi
dipublikasikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Novianti,
Evi. (2014). Pola Komunikasi Pasangan Antar Suku Sunda-Minang di Bandung (Studi
Kasus Etnografi Komunikasi Pasangan Pedagang Sunda-Minang Perantauan dalam
Pembentukan Suku di Pasar Baru Trade Center). Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 2, No. 2, Desember 2014.
Purwasito,
Andrik. (2003). Komunikasi Multikultural,
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Raharjo,
Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultur. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Redzuan
Lee, Mohd Najib., Muchtari,
Andanastuti., Abdullah, Shahrum., & Mastor, Khairul Anwar. (2012).
Malaysian Student’s Manifestation of Cultural Adaptattion and Resilience during
Their Sojourn in Germany. Asian Social
Science. Vol. 8, No. 16, ISSN 1911-2017 E-ISSN 1911-2025. Malaysia:
Canadian Center of Science and Education.
Samovar, L. A dan
Richard E. Porter. (2007). Communication
between Cultures 6th Edition, Belmont California: Thomson and
Wadsworth Publishing Company.
Samovar, L. A,
Porter, R. E. & McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi
Lintas Budaya Edisi 7 “Communication Between Cultures. Jakarta: Salemba
Humanika.
Sihabudin,
Ahmad. (2013). Komunikasi Antarbudaya:
Suatu Perspektif Multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara.
Silalahi, U.
(2009). Metode Penelitian Sosial.
Bandung: Refika Adiama.
Siska
Sari, Paulina. (2014). Komunikasi
Antarbudaya Remaja Etnis Keturunan Arab dengan Remaja Etnis Jawa di Surakarta
(Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya pada Remaja Etnis Keturunan
Arab dengan Remaja Etnis Jawa di Pasar Kliwon Solo). Fisip. Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Slocum dan
Hellriegel, M. (2009). The Communication
Competence of Leaders in a Knowledge-Based Organization. University of
Jyvaskyla.
Strauss, Anselm
& Corbin, Juliet. (2003). Dasar-Dasar
Penelitian Kualitatif (Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Spitzberg, B.H.
& Cupach, W.R. (1984). Interpersonal
Communication Competence. Beverly Hills: Sage.
Stewart L, Tubbs
dan Sylvia Moss. (2005). Human
Communication “Kontek-Kontek Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono.
(2008). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta.
Wahyuni,
Sri. (2004). Tata Karma Suku Bangsa Aneuk Jamee di Kabupaten Aceh Selatan. Jurnal Suwa Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional. Banda Aceh.
1 Response to "KOMPETENSI KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT TALUAK DAN MASYARAKAT ACEH DI TAPAKTUAN ACEH SELATAN"
Public relations falls under the buy an assignment marketing coursework and can even be pursued independently.
Post a Comment